Rabu, 15 Agustus 2012

Kujang


Penelitian ini berangkat dari fenomena kujang sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang adalah warisan budaya Sunda pra-modern dan merupakan senjata, ajimat, perkakas atau multifungsi lainnya. Kujang dengan keragaman bentuk dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, tadah, pamor dan sebagainya tidak dimiliki pada senjata lainnya di Nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual juga memiliki struktur estetik dan makna simbolik.
Penelitian meliputi kujang yang dikoleksi Musium Sri Baduga Bandung, Musium Geusan Ulun Sumedang, Museum Keraton Kasepuhan Cirebon. Museum tersebut berada di wilayah yang memiliki hubungan sangat erat dengan sejarah peradaban masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur estetik pada kujang dan mengetahui makna simbolik pada kujang. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang kujang secara visual maupun simbolik khususnya pada masyarakat etnis Sunda, dapat menumbuhkan kesadaran untuk melestarikan artefak peninggalan para leluhur Sunda terutama pusaka kujang, dan dapat meningkatkan apresiasi terhadap pusaka kujang sebagai artefak peninggalan para leluhur Sunda. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik kualitatif, menggunakan pendekatan multidisiplin dengan penekanan pada pendekatan kebudayaan melalui kajian eksoteri (bentuk) kujang dengan penekanan pada estetika (tampilan) dan isoteri (makna simbolik). Disiplin lain dianggap dibutuhkan untuk membedah kajian analisis penelitian seperti antropologi, sejarah, estetika, dan hermeneutika.
Visualisasi estetis kujang ditinjau dari bentuk sangat beragam terdiri dari kujang ciung, jago, kuntul, bangkong, naga, wayang, kudi dan masih ada bentuk yang lainnya. Jenis kujang terdiri dari kujang pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas. Kujang memiliki fungsi untuk simbolisasi keagungan, untuk alat berperang, untuk alat upacara, untuk alat pertanian. Secara historis, kujang dibuat sebagai alat pertanian, namun seiring dengan perkembangan jaman kujang menjadi simbolisasi dalam pranata sosial masyarakat etnis Sunda lama.
Kujang memiliki struktur sistem sebagai simbol dan kerangka berfikir masyarakat Sunda. Kujang sebagai simbol "tritangtu" masyarakat Sunda, sebagai filosofi dasar cara berfikir masyarakat Sunda lama "kesatuan dualistik", sebagai simbol kultur masyarakat huma / "pola tiga" dalam sistem budaya primordial Indonesia.


Kujang dikenal sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.XVII.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Bagian-bagian Kujang

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Mitologi

Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang
Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?

Cara-ciri Manusia ada 5

  1. Welas Asih (Cinta Kasih),
  2. Tatakrama (Etika Berprilaku),
  3. Undak Usuk (Etika Berbahasa),
  4. Budi Daya Budi Basa,
  5. Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".

Cara-ciri Bangsa ada 5

  1. Rupa,
  2. Basa,
  3. Adat,
  4. Aksara,
  5. Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger Gadgets