Plato (topsecretwriters.com) |
Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang ahli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 – 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. Namun dari sudut pandang geologi masa kini, Atlantis itu sangat mungkin adalah Sunda Land.
Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi
dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan (mid century), kisah Atlantis
menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam
meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak
yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada
yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah.
Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi,
kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup.
Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira.
Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memiliki persayaratan
untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato
lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak
termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa kini
malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung
Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan
awal peradaban manusia.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para
peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah
sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat
terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila
jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan
ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia
Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat
subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak
difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di
Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang
dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang
dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu
mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas.
Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat
ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat
ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang
rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini
dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan,
menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es
tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian
paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru
menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia
betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, merekamengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, merekamengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang.
Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di
kawasan-kawasan tersebut. Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi
tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul berkaitan
dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999) dan Santos
(2005).
Kontroversi Dan Rekonstruksi Oppenheimer
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetic yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai TamanEden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah
Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari
Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi,
osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa
di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur
peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir
besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagaiSundaland.
Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan
mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai
penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir
besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun
yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut
hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling
parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan.Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia
prasejarah yang hidup sebagai petani dan nelayan. Bagi Oppenheimer,
kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah
rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan
Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas
di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti
keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Benua Atlantis Menurut ARYSIO SANTOSKontroversi
dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Arysio Santos. Profesor
asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana
cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia.
Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang
menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos
dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas
wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang
akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland(Indonesia bagian Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua
yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia
bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur.
Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah
itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera
yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan samudera Pasifik.
Temple of Poseidon in Atlantis, The Lost City (bukisa.com) |
Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos
(2005) Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat
letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya
Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh
Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tersebut tenggelam.
Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan
gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba,
dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang
memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda
(Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara
dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).
atlantis rings (watch.pair.com) |
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia.
Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia,
diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung,
Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari
gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua
kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para ahli Amerika
Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan
bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena
ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya
senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama
arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut
bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Pandangan Geologi
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua
Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang
yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es. Wilayah
Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng continental
Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia
(Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi
kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerahSundaland di
barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area
meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan
cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti
kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan
Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air
dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya,
hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian
selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari
sistem kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia-
Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur
tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari
kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa
Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung
api (magmatic arc).
Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan
pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang meyakini
Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang
menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah
dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada jalur
magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia
yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut Kepulauan
Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain yang
menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar,
maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.
Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik
lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan
gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan
banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunung api aktif,
titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti
sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar.
Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempa bumi di daerah Busur
Sunda pada umumnya diikuti tsunami. Para peneliti masa kini terutama
Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki keyakinan
bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai
dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang
akibat letusan gunung berapi yang bersamaan.
atlantis-indonesia map (ahmadsamanto.wordpress.com) |
Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses
pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan dari
peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan gunung api dapat
menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori kepunahan
Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar
20.000 tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau
pada awal kala Holocene (akhirPleistocene). Proses pelelehan Es
di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan
proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada
sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah
kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara
barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara.
Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia.
Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi
penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi
manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan situs
pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat
tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit
menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di
Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada
zaman Holosen ±6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m lebih tinggi
dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat
yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
taman Eden (webber-scream.blogspot.com) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar